Thursday, January 13, 2011

Nafsu makan yang berlebihan




Anda ingat ketika sedang suntuk di kantor, dan senjata Anda untuk melupakan beban pekerjaan yang berat ini dengan mengudap sekantong keripik yang Anda simpan di laci meja. Kemudian, Anda juga turut menikmati kiriman donat dari relasi perusahaan. Kadang-kadang, Anda memang mengonsumsinya karena lapar. Tetapi lebih sering, makanan itu disantap untuk memberi rasa nyaman saja. 

Perilaku makan yang impulsif ini seringkali melewati batas, dan Anda menjadi seperti kecanduan makanan tersebut. Nah, hati-hati bila Anda telah memasuki zona kecanduan ini. Karena menurut penelitian, kecanduan makanan ini sekarang tak ubahnya suatu penyakit seperti kecanduan alkohol atau obat-obatan terlarang.
Washington University School of Medicine di St. Louis pada tahun 1991 dan 1992 pernah melakukan survei terhadap 40.000 orang, untuk melihat kaitan antara obesitas dan sejarah keluarga yang memiliki kecanduan alkohol. Saat itu, penelitian membuktikan tidak ada kaitan antara kedua hal tersebut. Namun pada tahun 2001 dan 2002, penelitian itu membuktikan hal yang berbeda.
Orang dewasa yang datang dari keluarga dengan riwayat kecanduan alkohol cenderung akan mengalami obesitas, 30-40 persen lebih besar daripada yang tak punya riwayat kecanduan alkohol. Perempuan, khususnya, punya resiko yang tinggi. Kecenderungan mereka menjadi obesitas 50 persen lebih besar jika ada keluarganya yang kecanduan alkohol, daripada mereka yang tidak punya riwayat tersebut (pada pria, prosentasenya 26 persen).
Perubahan pola perilaku ini, menurut Richard A. Grucza, asisten profesor bidang psikiatri di Washington University dan penulis studi kedua ini, karena lingkungan makanan penyebab obesitas telah berubah dalam satu dekade ini. Sumber utamanya adalah, "Sifat makanan yang kita makan, dan kecenderungannya untuk menarik jenis-jenis pusat penghargaan, yang merupakan bagian dalam otak yang melibatkan kecanduan."
Makanan yang paling membuat orang ketagihan termasuk makanan berkarbohidrat seperti roti, pasta, permen, cake, cokelat, dan cemilan yang asin. Nah, makanan yang dibuat khusus untuk menarik perhatian konsumen ini bisa menjadi isyarat yang memicu makan berlebihan pada orang-orang yang punya kecenderungan kecanduan. Hal ini menarik pusat-pusat penghargaan dalam otak, yang membuat orang berpikir ia layak mendapatkan makanan ini. Sudah begitu, makanan ini sekarang sangat mudah didapat sehingga memperkuat perilaku kecanduannya.


Dalam bukunya, The End of Overeating, Dr David Kessler, mantan komisioner Food and Drug Administration, menyebut berbagai makanan asin dan manis itu "superlezat". Ia menggambarkan bagaimana makanan lezat yang biasa disajikan di restoran cepat saji ini mengubah kimiawi otak, memicu respons neurologis yang mendorong orang untuk menginginkan lebih banyak lagi (meskipun tidak lapar). Karbohidrat dan makanan yang manis melepaskan serotonin dalam otak, yaitu senyawa kimia yang membuat Anda merasa senang. Efeknya temporer, dan singkat, yang menimbulkan gelombang rasa senang, diikuti oleh rasa lelah yang seringkali diikuti rasa bersalah.
Lalu bagaimana ciri-ciri orang yang mulai kecanduan makanan? Menurut Marjorie Nolan, RD, juru bicara American Dietetic Association, Anda tergolong kecanduan makanan bila:

* Tetap makan meskipun tidak begitu lapar, atau makan karena dipicu secara emosional.
* Merasa bersalah atau malu setelah makan.
* Makan sendirian, diam-diam, atau menyembunyikan jumlah makanan yang Anda nikmati dari orang lain.
* Merasa tak mampu mengontrol, atau tidak bisa berhenti makan.
* Menginginkan makanan tertentu saat berada dalam acara makan-makan.
* Merasa lega dari perasaan yang kurang baik ketika mengonsumsi makanan tertentu.
Karena sudah termasuk penyakit, kecanduan makanan tidak bisa diatasi hanya dengan mengurangi makanan dan lebih banyak olahraga. Anda perlu menjalani perawatan, seperti terapi yang dilakukan oleh orang-orang kecanduan alkohol. Bahaya kan kalau kita melakukan hal itu setiap hari? Pasti usus kita tidak akan merasa nyaman kalau semua makan kita makan tampa pikir panjang.

No comments:

Post a Comment