Eforia dan optimisme bercampur kebanggaan itu ternyata tidak berlangsung lama. Kurang dari sepekan setelah pesta sepakbola di stadion Bung Karno Senayan berakhir, pecinta sepakbola kembali disuguhkan konflik baru yaitu persaingan menjurus pada keinginan saling mematikan antara dua kubu.
Keduanya adalah kubu yang dipimpin Nurdin Halid dan kubu Arifin Panigoro. Nurdin mewakili Liga Super Indonesia (LSI) sekaligus PSSI dan Arifin selaku representasi Liga Primer Indonesia (LPI), sebuah wadah baru pesepakbola profesional Indonesia.
Pihak yang baru saja mengikuti perkembangan sepakbola nasional tentunya bertanya-tanya, ada apa gerangan? Secara singkat digambarkan, persoalan Nurdin dan Arifin bersumber pada tekadnya meningkatkan prestasi sepakbola Indonesia.
Nurdin yang sudah memimpin PSSI selama lebih dari lima tahun dan punya hak menggelar kejuaraan lewat LSI, di mata Arifin telah gagal. Arifin ingin masuk ke PSSI dengan niat positif, tapi pintu ditutup Nurdin.
Arifin yang dikenal sebagai konglomerat minyak dan batubara di Indonesia, tidak diam. Ia lantas membentuk LPI. Hanya dalam waktu kurang dari setahun Arifin berhasil menarik sejumlah klub lama dan baru bergabung ke LPI. Rencananya pekan kedua Januari 2011, LPI akan memulai kompetisi perdananya diikuti 19 klub.
Terbentuknya LPI dan bakal berputarnya roda kompetisi baru di luar kendali PSSI, membuat Nurdin selaku Ketua Umum PSSI tidak nyaman atau mungkin tersinggung bahkan marah.
Nurdin yang dikenal politisi Golkar ini merasa disaingi secara ilegal oleh Arifin yang pernah menjadi anggota DPR dari PDI-Perjuangan. Sedangkan Arifin tidak peduli dengan sikap Nurdin.
Menurut kabar perbedaan yang paling mendasar antara LSI (Nurdin) dan LPI (Arifin), bukan dalam soal ideologi politik melainkan terletak pada konsep profesionalisme sepakbola.
Untuk sementara ini konsep LPI lebih menjanjikan, ketimbang LSI. Dalam arti pemain dan pelatih atau siapapun yang bergabung di LPI, seperti yang didengung-dengungkan, akan lebih terjamin masa depannya.
No comments:
Post a Comment